Paceklik Culture Festival II Jamu di Masa Pageblug, Oase di tengah “Kekeringan Nalar Rasa”

lokasi sanggar sekar nyentrik

Di senja hari minggu yang cerah bertepatan 4 Oktober 2020 tadi, lamat-lamat terdengar Ladrang Tebu Sauyun dan Ktw. Puspawarna Laras Slendro Pathet Manyura yang kemudian dilanjutkan Gendhing Lokananta Laras Slendro Pathet Nem, mengumandang dari sebuah tempat di Mendak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul. 

Sajian uyon-uyon renyah, lembut, dan mengalun dengan indah itu, berasa sangat bernuansa kerakyatan dan pedesaan. Uyon-uyon itu disajikan tidak lain dan tidak bukan, oleh kelompok Karawitan Gita Laras dari Desa Girisekar yang setia selalu bersama Komunitas Sekar Nyentrik sejak Festival Paceklik diselenggarakan pertama kalinya tahun lalu. 

 
krawitan gita laras

Meskipun disajikan dengan gamelan cokekan berbahan besi seadanya, rasanya tak mengurangi kesyahduan suasana untuk mengawali Pembukaan Festival Paceklik yang kedua kali ini, yang secara kebetulan bersamaan ketika “pageblug” covid-19 masih melanda nusantara.  

Anathasia Cita Rismawati sebagai founder Sekar Nyentrik mengawali sambutannya. Ia menceritakan awal mula berdirinya Sekar Nyentrik di Girisekar, dan Paceklik Culture Festival sebagai ruang kreatif bagi masyarakat untuk melanjutkan dan mengkomunikasikan aktifitas budaya yang diharapkan tidak terbatas pada seni pertunjukan semata. Awal mula Paceklik Festival diselenggarakan cukup menuai kontroversi. Dari namanya saja membuat orang yang mendengar, khususnya mereka dari kalangan pegiat dan pemerintah mengernyitkan dahi. Mosok Paceklik? Ingin Paceklik lagi? Wong sekarang sudah tidak Paceklik kok. Sekarang sudah enak. 

Tanggapan itu sayangnya dilontarkan, justru sebelum Cita dan Wawan memaparkan apa dan bagaimana program Paceklik dimaksudkan. Namun dengan tekad yang luar biasa kuat untuk menghadirkan ruang kreatif kebudayaan yang tidak terbatas, yang selama ini didominasi di wilayah kota dan oleh kelompok-kelompok besar, program ini dapat terwujud bahkan untuk kedua kalinya. Kegiatan ini justru ingin memberikan ruang kreatif bagi masyarakat pinggiran, khususnya mereka yang tinggal jauh di pelosok, yang kadang luput dari perhatian masyarakat kebanyakan, khususnya masyarakat Gunungkidul yang ada di Kecamatan Panggang. 

Paceklik yang dimaksudkan sebenarnya adalah wujud keprihatinan, ungkapan paradoks yang menyitir dan menyentil kurangnya ruang dan aktifitas budaya di pedesaan seperti di Panggang, Gunungkidul. Wilayah yang sejak dahulu subur dengan aktifitas kebudayaan rakyat bagaimanapun tak dapat menolak terpaan arus budaya perkotaan. Hal ini setidak-tidaknya juga berdampak pada gesekan yang sering terjadi antara pemahaman dan pendapat: tradisi yang diversuskan agama. Paceklik Culture Festival hadir ingin menjadi oase yang menyejukkan, mengajak masyarakat duduk bersama merefleksikan kerawanan pangan masa lalu untuk menjawab kerawanan sosial budaya di masa sekarang.  

Gerakan budaya yang dilakukan oleh Komunitas Sekar Nyentrik Mendak, Girisekar melalui Paceklik Culture Festival ini mendapat dukungan dan sambutan dari kalangan akademisi, seperti dari Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya yang kini namanya telah menjadi Program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dalam kesempatan sambutannya, Kaprodi program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma, Dr. Y. Tri Subagya menyampaikan beberapa hal penting terkait dukungan dan apresiasinya terhadap Paceklik Culture Festival yang diselenggarakan kedua kalinya ini. Menurutnya, ekologi Panggang dan secara umum di wilayah Gunungkidul memang menunjukkan sensitifitas dan kerawanan, baik itu kekeringan, maupun kelangkaan pangan. Seperti yang terjadi dahulu di tahun 1970-an, paceklik terjadi karena kelangkaan pangan yang begitu hebat. Namun kini ketika pembangunan berjalan semakin baik, kerawanan kelangkaan pangan telah terjawab dengan kemandirian dan keteguhan masyarakat Gunungkidul merespon keadaan melalui kreatifitas dan soliditas sosial, menjadikan keadaan jauh lebih baik.  

Tahun ini, di tahun kedua penyelenggaraannya, paceklik terjadi dalam bentuk yang lain. Bukan kelangkaan pangan, namun bersamaan dengan merebaknya wabah penyakit yang berdampak pada banyak aspek kehidupan masyarakat. Hampir seluruh aspek dan sendi kehidupan masyarakat seperti ekonomi, sosial, budaya secara automatis terdampak berat akibat pandemik covid-19 yang terjadi mendunia. Namun demikian, peristiwa “pageblug” covid ini tetap direspon secara kreatif untuk melihat dari kacamata yang lebih kompleks oleh Sekar Nyentrik melalui Paceklik Culture Festival II. Kehadiran program Magister Kajian Budaya bekerjasama dengan Paceklik Culture Festival adalah wujud kepedulian melihat urgensi bahwa apa yang dilakukan Paceklik akan dapat lebih ditangkap oleh masyarakat akademik, menjadi wacana menarik sebagai bahan diskusi akademis lebih luas dengan konteks wacana sosialnya secara lebih mendalam pula. 

Jika tahun lalu Paceklik Culture Festival diadakan di Girisekar, tahun ini kegiatan dipusatkan di desa Girikarto, Kecamatan Panggang, Gunungkidul. Kepala Desa Girikarto, Bapak Tuyadi, sebelum membuka secara resmi acara ini, menyatakan bahwa jajaran pemerintahan Desa Girikarto sangat mengapresiasi kegiatan yang dilakukan Sekar Nyentrik dalam rangkaian Paceklik Culture Festival II yang tahun ini dipusatkan di desanya. Ungkapnya, suatu kebanggan luar biasa bagi masyarakat Girikarto yang terdiri dari 8 padukuhan dengan jumlah penduduk sekitar 4000 jiwa dan 1000 kepala keluarga ini, dapat bergabung dan bekerjasama serta ikut aktif berkontribusi dalam kegiatan Paceklik. Kegiatan festival yang tahun ini memilih tema: “Seni Tanpa Perbedaan” dirasa sangat relevan dengan situasi dan kondisi Desa Girikarto yang memiliki kekayaan potensi kearifan lokal. Desa Girikarto telah sejak dahulu kala dibangun atas keberagaman adat, agama, penghayat kepercayaan, seni, tradisi dan kebudayaan masyarakatnya. Melalui momen kolaborasi yang baik ini diharapkan dapat seiring sejalan membangun dan mewujudkan wilayah Girikarto yang damai, sejahtera, mengutamakan persatuan dan kesatuan dengan kegotongroyongan sebagai nafasnya. Sehingga warisan kekayaan dari banyak keragaman ini terus dapat dipertahankan dan dikembangkan menjadi modal untuk maju bersama, berkembang bersama, dengan seni dan budaya yang ada, membangun kebudayaan nasional dan berkontribusi aktif mewujudkan persatuan kesatuan bangsa Indonesia. Paceklik Culture Festival kemudian secara resmi dibuka, ditandai dengan pemukulan bendhè oleh Kades Girikarto. 

Seni, Jamu (Jampi) Paceklik di Masa Pageblug

Sebagai awal rangkaian kegiatan Paceklik Culture Festival II, seusai pembukaan dilanjutkan dengan sarasehan budaya virtual. Tema yang diusung adalah “Jamunya Rakyat Kecil di tengah Pandemi”. Sarasehan ini menghadirkan beberapa pembicara dari beberapa latarbelakang berbeda. Pembicara pertama adalah Cahyo Prabowo, seorang penulis dan pegiat @gunungkidulbisaapa; kemudian dari kalangan seniman adalah Budi Pramono, seorang komposer musik dan karawitan yang juga dikenal khalayak dengan nama alias, Budi Pècè; lalu menghadirkan kalangan budayawan, akademisi sekaligus rohaniawan, Dr. G. Budi Subanar, S.J. yang kini masih menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selain itu, sarasehan juga menghadirkan Syamsul Hadi, S.H.,M.M., Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, mewakili pihak pemerintah. Bincang-bincang santai dan hangat tersebut dimoderatori oleh seorang seniman dan aktor, alumni program Magister Ilmu Religi dan  Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, beliau adalah Rendra Bagus Pamungkas.  

Diskusi yang dibawakan dalam suasana santai ini ingin mendialogkan bagaimana kebudayaan, melalui proses kreatif berkesenian menjadi salah satu oase yang menyegarkan sebagai jampi di masa pageblug seperti sekarang ini. Banyak hal yang dipaparkan oleh para pembicara yang menarik kemudian dapat ditarik kembali dan dicecapi lebih mendalam. Seperti di antaranya mengenai dialog antara seni sebagai kebutuhan ekspresi batiniah seniman yang di lain sisi juga menjadi kebutuhan untuk bisa melangsungkan hidup bagi seniman. Ketika pageblug (pandemik covid-19) melanda, praktis kehidupan berkesenian melalui panggung-panggung terhenti dan batal. Mata pencaharian seniman yang hidup dari aktifitas kesenian terdampak hebat. Hal ini menurut Budi Pramono, yang seorang kelahiran Nglipar Gunungkidul, harus disikapi dengan kritis. Seni memang sebuah ruang untuk mengekspresikan kebutuhan batiniah seniman, namun ketika di sisi lain seni juga menjadi kebutuhan untuk melangsunkan hidup, rasanya tidak mungkin jika seniman sekadar menunggu keadaan untuk beraktifitas kesenian. Seniman tidak butuh bantuan, tapi seniman butuh pekerjaan. Justru karena seni adalah ruang ekspresi, maka seniman dituntut untuk mencari cara kreatif tetap berkespresi merespon keadaan bahkan dalam kondisi yang serba terbatas. 

Dengan kondisi yang ada saat ini, memang tak dapat dipungkiri, seniman harus akrab dengan dunia teknologi. Situasi yang tak memungkinkan diadakannya pertunjukan dengan ditonton langsung, memang menyebabkan bentuk sajian dilakukan secara virtual. Hal ini dilakukan juga untuk mendukung percepatan penekanan angka terpapar wabah lebih cepat, dengan membatasi ruang-ruang aktifitas yang menyebabkan kerumunan massa. Dengan demikian akrab teknologi adalah salah satu cara yang perlu ditempuh dan dimanfaatkan oleh seniman untuk tetap berekspresi, berkreasi, dan menghidupi kehidupannya. Meskipun sajian pertunjukan daring memiliki kelemahan, seperti keringnya semangat euforia dari respon langsung oleh penonton, namun agaknya sajian daring hingga saat ini dirasa menjadi cara respon yang baik yang perlu terus diolah oleh seniman untuk bisa tetap bertahan. Paceklik Festival yang kini diselenggarakan daring, menjadi semakin menarik untuk didialogkan terus menerus. Kemudian, seni sebagai jamu, akan menjadi jamu jika dikembalikan kepada diri masing-masing. Menurut Budi Pramono,  jamu pandemi adalah dari kita sendiri bagaimana kita mengolah kreativitas. Seniman mampu punya cara dan mampu mengekspresikan apa yang dia inginkan.

Pernyataan Budi Pramono seturut dan memiliki irisan dengan pendapat yang disampaikan oleh Cahyo Prabowo sebelumnya. Untuk dapat berdaya guna, maka sudah saatnya kini seniman dan masyarakat pegiat budaya melek atau sadar akan pemanfaatan teknologi. Sebab dengan teknologi, hal yang tidak mungkin terbayangkan sebelumnya menjadi mungkin dan terjamah. Sebagai contoh, pemilihan diksi: “Paceklik” dalam Paceklik Culture Festival, diharapkan bukan sekadar ingatan sejarah yang meninggalkan daya dorong untuk agar tidak terjadi paceklik-paceklik dalam artian kerawanan pangan selanjutnya. Gunungkidul punya alam yang luar biasa kaya. Pantai dan keindahan potensi alamnya membuat kita sangat kuat hari ini. Ketekunan, keramahan, dan soliditas sosial masyarakatnya telah merobohkan batu-batu keras menjadi karya-karya yang hebat. Yang penting menurutnya adalah, bagaimana paceklik jadi ikon besar kemudian ada ikonisasi produk-produk atau karya yang dihasilkan. Kadang kita lupa, karya besarnya apa? Ikonisasi menjadi penting guna melahirkan  “karya baru” untuk melukiskan dan mengkisahkan Gunungkidul terus menerus. Merayakan Paceklik sebagai bahan untuk memperkaya wawasan bersama membangun Gunungkidul agar masyarakat lebih dapat merasakan kesegaran angin dari kreativitas dan karya bersama, yang tentunya dalam hal ini dirasakan dampaknya dalam pemajuan ekonomi kreatif masyarakatnya.

Syamsul Hadi, S.H., M.M., sebagai wakil dari Dirjen Kebudayaan sangat mengapresiasi dan menyatakan dukungan pemerintah terhadap gerakan-gerakan dan aktivitas pemajuan kebudayaan dari desa. Dukungan itu diperkuat dengan Undang-Undang pemajuan desa sangat jelas dalam rangka mengupayakan pemajuan desa dalam bidang seni sastra dan seni pertunjukan. Pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Dirjen Kebudayaan mendorong upaya-upaya kearifan lokal di desa-desa sesuai amanat UUD 1945, secara jelas negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia. Hal ini diwujudkan dengan adanya banyak program yang baru-baru ini telah dan sedang digulirkan seperti di antaranya program Fasilitasi Bantuan Kebudayaan yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat seniman, maupun pegiat kebudayaan. 

Sejak pandemi, paceklik seolah kembali ada. Semua agenda kesenian dan kebudayaan tertuda dan bahkan batal. Maka pemerintah mewujudkan dukungan serta dorongannya dengan mengapresiasi dan memberikan ruang-ruang aktifitas kreatif melalui beberapa program yang bukan semata-mata dilakukan sebagai bantuan. Di antaranya dengan borang-borang, yang diikuti oleh seniman dan pelaku budaya untuk ikut aktif melalui pemanfaatan teknologi daring. Mereka melakukan pendaftaran, pendataan, kemudian merekam konten kreatif mereka dari rumah. Merespon seperti apa yang diungkapkan oleh Budi Pramono, bahwa: “Seniman tidak butuh bantuan tapi butuh pekerjaan”, ruang-ruang pekerjaan ini diupayakan oleh Dirjen Kebudayaan melalui beberapa program apresiasi dan fasilitasi. 

Menyambung penjelasan Syamsul Hadi, Romo Banar, panggilan akrab Dr. G. Budi Subanar, SJ., menyinggung bahwasanya Festival Paceklik adalah sebuah pengalaman dan kehadiran langsung Undang-Undang pemajuan desa dan kebudayaan desa, yang awalnya hanya tertuang sebagai teks tertulis kemudian menjadi pengalaman konkrit. Seperti halnya sapaan bebunyian oleh Karawitan Gita Laras di awal sebelum acara dimulai. Mereka menyajikan repertoar gendhing, di antaranya adalah Ladrang Tebu Sauyun yang dapat di artikan mantabnya kegotong-royongan, kemudian Ketawang Puspawarna Laras Slendro Pathet Manyura, sebagai sapaan yang menyejukkan, menghadirkan pengalaman konkrit agar tetap terjaga kewarasan nalar rasa para pendengar. Hal ini perlu diyakini, bebunyian karawitan yang lembut itu, bahkan telah sejak lama diakui dunia mampu menyapa alam semesta raya. Sebagaimana yang terjadi lebih 40 tahun lalu, Voyager membawa rekaman Puspawarna menyandingkannya dengan karya-karya klasik komposer dunia untuk dikumandangkan di luar angkasa, melalui penghadiran pengalaman bunyi-bunyian karawitan. 


Catatan Penulis:

Sebagai penutup, penulis ingin menyarikan berbagai pendapat dan paparan dalam sarasehan, sekaligus mengajak para pembaca mendialogkan ulang lebih dalam mengenai peran seni, budaya, dan jampi di masa pageblug ini. Aktivitas kebudayaan dan kesenian, kiranya perlu terus didorong dan diupayakan sebagai motor untuk mengikis kerawanan (dibaca: paceklik) budaya dalam realitas kehidupan sosial masyarakat yang lebih luas, khususnya masyarakat di pedesaan. Kesenian sebagai jamu, harus diawali dari diri para seniman sendiri, bagaimana terus mengolah kreativitas dan melek teknologi untuk dapat selalu merespon berbagai kondisi melalui ekspresi keseniannya. Salahsatu kekuatan seniman adalah kekuatan kritis melalui ekspresi diri dan kesenian, namun juga diolah agar dapat berdaya guna secara ekonomi, sehingga keseimbangan berlangsung. Seniman dan aktivitas kebudayaan menjadi pencerah, oase yang menyegarkan, serta jamu paceklik di tengah pageblug melalui karya-karya yang luar biasa. Namun demikian, sebagai refleksi, dalam suasana yang serba terbatas di satu sisi namun juga ketat bersaing di sisi lain, kebudayaan yang beralih pada budaya digital rupa-rupanya juga menuntut ruang kreatif kesenian membutuhkan sebuah gerakan bersama. Kolaborasi yang apik dan solid harus terjalin melalui dukungan banyak pihak. Masyarakat sebagai apresiastor dan pengguna aktif, seniman sebagai kreator, seyogyanya bersinergi juga dengan adanya influencer melalui komunitas-komunitas penggerak yang telah sadar pemanfaatan teknologi, serta yang tak kalah penting adalah pemerintah sebagai fasilitator. Ikonisasi yang disebut Cahyo Prabowo adalah poin penting untuk melihat karya seniman dan aktivitas budaya, agar memiliki daya mampu tidak hanya diingat sebagai memori sesaat, namun terus menerus digaungkan dan dibutuhkan dalam daya guna yang menghasilkan manfaat tak hanya batiniah, tetapi juga menghidupi secara ekonomi.

Paceklik Culture Festival  yang diselenggarakan selama 4-15 Oktober 2020 ini akan menyajikan potensi keberagaman agama dan kepercayaan di Girikarto, yang bisa disaksikan melalui channel youtube Paceklik Culture Festival. Gerakan ini diharapkan menjadi ruang sekaligus motor yang tidak hanya mewadahi aktivitas budaya dan kesenian dari desa, namun juga menjadi motor yang menggerakkan “nalar rasa” tidak menyerah berhenti, selalu mencari “kebaruan”, selalu merawat kewarasan yang tidak terbatas pada sebutan kalangan tertentu saja, namun justru mampu memunculkan potensi lain (desa) dengan “menggeser yang dominan, untuk memusatkan yang pinggiran”. Paceklik Culture Festival adalah nafas panjang masyarakat desa untuk terhindar dari kerawanan atau paceklik sosial budaya. Terupayakannya aktivitas kebudayaan desa secara terus menerus akan menghindarkan gesekan dan paparan virus yang tak kalah berbahaya dari covid-19, yakni perpecahan, diskriminasi, bahkan separatisme. Hidup kebudayaan desa! Sejahteralah Desaku.. Majulah Negeriku!


Paceklik Culture Festival 2

Hariyanto

 

Posting Komentar

0 Komentar