Filosofi Nasi Tumpeng Masyarakat Jawa


WONOSARI,(WH) – Nasi Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk seperti kerucut. karena itu disebut pula ‘nasi tumpeng’. Olahan nasi yang dipakai umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum.
Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah bundar tradisional dari anyaman bambu) dan dialasi daun pisang.
Tumpeng merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali berfungsi menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.
Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan.
Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai ‘tumpengan’. Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi ‘tumpengan’ pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara.
Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al Quran. Menurut tradisi Islam Jawa, “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa Jawa : yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh) Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80: “Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan”. Menurut beberapa ahli tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
Jika diuraikan satu per satu! sajian tumpeng sendiri memiliki kajian makna yang sangat mendalam, yang menunjukkan betapa tingginya tradisi peradaban nenek moyang kita dalam mengenali Tuhannya.
1. Nasi yang diberbentuk kerucut dimaknai sebagai simbol untuk selalu berserah diri kepada Tuhan serta menaruh harapan agar selau hidup sejahtera. Selain makna dibalik akronim buceng dan tumpeng, bentuk kerucut dan nasi kuning dengan nasi putih dibagian atasnya. Warna kuning melambakan rasa wening (kekhusyukan) sedangkan warna putih hati yang putih bersih dalam berdoa.
2. Ayam Ingkung
Ayam, dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi areh (kaldu santan yang kental) yang menjadi simbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Di mana ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge”reh” rasa).
Dalam penyembelihannya , pemilihan ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk ayam jago, antara lain: sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia dan tidak perhatian kepada anak istri.
3. Ikan Lele
Zaman dahulu ikan yang disajikan Ikan Lele. Ikan lele memiliki makna ketabahan, keuletan dalam hidup dan sanggup hidup dalam situasi ekonomi yang paling bawah sekalipun. Karakter ikan lele sendiri adalah tahan hidup di air yang tidak mengalir dan di dasar sungai.
4. Ikan Teri
Ikan Teri umumnya digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan Teri dan Ikan Pethek hidup di laut dan selalu bergerombol sehingga memberi makna kebersamaan dan kerukunan.
Ikan ini menjadi simbol dari ketabahan, keuletan dalam hidup dan sanggup hidup dalam situasi ekonomi yang paling bawah sekalipun. Lauk lain yang disajikan adalah ikan teri. Ikan ini biasanya digoreng dengan atau tanpa tepung. Ikan teri selalu hidup bergerombol. Filosofi yang dapat diambil, sebagai contoh dari kebersamaan dan kerukunan.
5. Telur Rebus
Nasi tumpeng dilengkapi dengan telur rebus utuh. Telur direbus pindang, bukan didadar atau mata sapi, dan disajikan utuh dengan kulitnya, jadi tidak dipotong sehingga untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu.
Piwulang jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis dan Tatas”, yang berarti etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan,dan diselesaikan dengan tuntas.
Telur juga menjadi simbol jika manusia diciptakan dengan fitrah yang sama. Yang membedakan nantinya hanyalah ketakwaan dan tingkah lakunya.
6. Sayur Urap
Pelengkap lainnya adalah sayur urap. Sayuran yang digunakan antara lain kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, kluwih dengan bumbu sambal parutan kelapa atau urap dan lain-lain. Seperti halnya pelengkap lainnya, sayur-sayuran ini juga mengandung simbol-simbol penting, antara lain:
– Kangkung berarti jinangkung yang berarti melindung,
– Bayam (bayem) berarti ayem tentrem,
-Taoge/cambah yang berarti tumbuh,
-Kacang panjang berarti pemikiran yang jauh ke depan,
-Bawang merah melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang baik buruknya,
-Cabe merah diujung tumpeng merupakan symbol dilah/api yang meberikan penerangan/tauladan yang bermanfaat bagi orang lain,
-Kluwih berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding lainnya, dan
-Bumbu urap berarti urip/hidup atau mampu menghidupi (menafkahi) keluarga.
7. Sambal Goreng
Sambel Goreng biasanya terbuat dari tahu, kentang dan tempe dan Sambel goreng tumis dengan bumbu. Bahan-bahan yang dirajang menjadi potongan-potongan kecil bermakna gotong royong dan guyup rukun dalam bermasyarakat.

Variasi dari Nasi Tumpeng :
  • Tumpeng Robyong – Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai.
  • Tumpeng Nujuh Bulan – Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang.
  • Tumpeng Pungkur – digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
  • Tumpeng Putih – warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
  • Tumpeng Nasi Kuning – warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
  • Tumpeng Nasi Uduk – Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
  • Tumpeng Seremonial/Modifikasi (Hari)

Posting Komentar

0 Komentar